Bintan dan Batam :
Objek Wisata di Kepulauan Riau
Pada bulan Desember, saya kebetulan berkesempatan untuk
menjelajahi Pulau Bintan dan Batam (karena satu dan berbagai hal,
catatan perjalanan ini baru bisa saya tulis sekarang). Kedua
pulau ini berada di Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya di pertemuan
antara Selat Malaka dan Laut Cina Selatan, bertetanggaan dengan
Singapuran dan Pulau Lingga.
Ada apa di Pulau Bintan
dan Batam? Bagi anda yang berdomisili di luar Pulau Sumatra, mungkin
nama Pulau Bintan masih terdengar asing. Wisata budaya / sejarah dan
wisata alam adalah dua andalan wisata dari Pulau ini. Bagi anda yang
interest dengan sejarah dan budaya melayu, anda bisa ke Pulau Penyengat.
Pulau ini terletak di depan pantai Tanjung Pinang. Di Pulau ini anda
bisa melihat sejarah dan sastra melayu seperti Gurindam Dua Belas Karya
Raja Ali haji. Di Pulau ini juga terdapat Masjid Raya Sultan Riau yang
dindingnya terbuat dari putih telur, makam para raja (termasuk Raja Ali
Haji), Istana dan Benteng Pertahanan. Namun karena terbatasnya waktu dan
dahulu kami sekeluarga sudah pernah kesana, maka pada kesempatan kali
ini kami tidak menyempatkan diri kesana.
Tujuan utama kami
ke Tanjung Pinang adalah untuk menikmati pantainya dan melakukan
berbagai macam olahraga air. Tanjung Pinang memiliki pantai yang tidak
kalah bagusnya dibandingkan daerah lain di Indonesia. Di Pulau ini juga
anda bisa melakukan berbagai macam olahraga air. Mengenai hal ini akan
saya tulis pada tulisan berikutnya. Sementara tujuan kami ke Batam
adalah lebih karena alasan nostalgia. Dahulu kami sekeluarga pernah
tinggal disana selama kurang lebih 2 tahun, sehingga kami ingin kembali
melihat kota yang dulu pernah kami tinggali.
Perjalanan dimulai dengan pesawat twin propeller Fokker F50 maskapai Riau Airlines
dengan tujuan Pekanbaru – Tanjung Pinang – Natuna. Pesawat mendarat di
Bandara Raja Ali Haji Fisabillilah (dulunya bernama Bandara Kijang) di
kota Tanjung Pinang (Ibu Kota Kepulauan Riau). Disana kami dijemput
dengan mobil L300 milik resort yang telah kami booking terlebih dahulu.
Kemudian kami langsung menuju sebuah pasar di daerah Temiang untuk makan
siang. Pasar ini seperti Chinatown, hampir semua orang disana
adalah keturunan Tionghoa. Meraka juga melakukan percakapan sesama
mereka dengan bahasa mandarin yang kental. Bahkan koran dan televisi
yang mereka lihat pun berbahasa mandarin. Buat anda yang seumur hidup
belum pernah ke pesisir timur Sumatra, mungkin anda akan merasa sedang
tidak berada di Indoensia saat itu.
Disana kami menuju
kedai kopi “Santai” yang terkenal dengan masakan asam pedas kepala
ikannya. Asam pedasnya memang punya cita rasa yang sedikit berbeda
dengan asam pedas yang pernah saya makan. Asam pedas ini terasa lebih
gurih. Rasanya merupakan kombinasi dari asam, manis, pedas dan asam yang
pas. Lidah saya selalu meneteskan air liur setiap kali mengingat
rasanya. Saya tidak begitu mengerti bumbunya apa, tapi yang jelas ada
nanasnya. menurut saya ini cukup aneh, asam pedas adalah masakan orang
melayu, akan tetapi asam pedas yang super enak ini dijual oleh keturunan
Tionghoa.
Setelah makan siang, kami langsung menuju ke Bintan Agro Beach Resort di daerah Teluk Bakau. Resortnya cukup bagus, fasilitasnya lengkap dan terawat. Terlebih lagi resort
ini letaknya langsung menghadap pantai yang indah. Fasilitas yang
tersedia di resort ini antara lain kolam renang, berbagai macam olahraga
air (Snrokling, SCUBA diving, canoeing. banana boating, dan Flying fish),
lapangan sepak bola pantai, lapangan voli, dan peminjaman sepeda.
Menurut Ayah saya, dari sekian banyak resort yang ada di sekitar Teluk
Bakau, resort ini yang paling pas dari segi hargd dan fasilitas yang
ditawarkan. Di Tanjung Pinang memang banyak terdapat resort, terutama di
daerah Teluk Bakau, Pantai Trikora dan Lagoi. Jika kita jenuh dengan
nuansa hotel, kita juga bisa memilih untuk home staying di Pulau Bintan.
Di Agro Beach Resort kami hanya sempat canoeing, cycling, bermanin-main voli, bermain sepak bola pantai, dan terakhir snorkeling.
Untuk deskripsi mengenai pantai, saya akan khususkan di postingan
berikutnya. Sementara ayah dan mama menyempatkan diri untuk dipijat
refleksi di sebuah pondok di pinggir pantai. Amboi, bayangkan betapa
enaknya. Dimanjakan dengan pijat refleksi dengan pemandangan indah
ditambah dengan tiupan angin sepoi-sepoi. Sebenernya ketika itu saya
ditawari oleh ayah saya untuk direfleksi juga. Tapi waktu itu saya malu
sama mbak-mbaknya, masa masih muda sudah dipijat segala, alhasil dinda
jadi korban, dengan bayaran 20 ribu, saya minta dipijat dengan dia
malamnya dikamar.
Setelah dari Agro Beach Resort,
kami menuju Pantai Mana-mana di daerah Lagoi. Jalannya tidak besar,
kira-kira lebarnya hanya hanya sebesar satu lajur jalan tol ditambah dua
meter. Jalannya juga sepi, tidak banyak mobil yang lewat. Kami hanya
berpapasan dengan mobil sekali dua kali. Kebanyakan mobil yang lewat
adalah bertipe jip seperti land cruiser, atupun jip-jip dual kabin
dengan bak dibelakang seperti jenis Mitusbishi Strada. Sekali-kali
terlihat mobil truk proyek. Pertambangan bauksit adalah salah satu
kegiatan perekonomian yang menjadi andalan Pulau Bintan. Kami jalan
menyusur tepian pantai. Terkadang kami menembus hutan-hutan.
Pemandangannya sangat indah. Semua masih begitu perawan, jauh dari
campur tangan manusia. Benar-benar pemandangan yang langka. Menurut
informasi dari ayah saya, ternyata sudah ada klub sepeda yang sering
melakukan kegiatannya di daerah ini yang didirikan dan bermarkas di
Singapura. Yah itulah yang banyak terjadi di negara kita. Yang sadar dan
menikmati kekayaan alam negara kita justru orang lain.
Pantai mana-mana saat ini telah berubah nama menjadi Nirwana Beach Club.
Nirwana Beach Club terletak di daerah Lagoi. Di daerah Lagoi banyak
sekali terdapat resort-resort mahal yang kebanyakan dikunjungi oleh
orang asing. Harga permalamnya ada yang mencapai $ 4.000.
Saya tidak bisa membayangkan menginap di sebuah resort seharaga $ 4.000
perbulan, mungkin kalau gatal saja ada yang menggarukkan. Heheh… Kawasan
ini memang benar-benar eksklusif. Pemasarannya memang ditargetkan untuk
orang asing.
Orang asing
tersebut hampir kebanyakan masuk dari Singapura. Dari Singapura mereka
menyeberang dengan kapal feri langsung menuju Tanjung Pinang. Setelah
saya googling, ternyata memang banyak agen-agen perjalanan di Singapura
yang menawarkan paket perjalan ke Tanjung Pinang ini. Lagi-lagi saya
miris, Tanjung Pinang itu wilayah Indonesia, tapi kenapa justru orang
Singapura yang banyak meraup keuntungan? Bahkan investor dari
resort-resort tersebut pun berasal dari Singapura. Bahkan di sini kita
bisa membayar dengan menggunakan mata uang Singapura, benar-benar
menyedihkan. ckckkc
Di Nirwana Beach
Club kami melakukan berbagai macam olahraga air. Di sini saya melepaskan
hasrat dan obsesi saya untuk menyetir kapal dengan mengendarai Jet Ski.
Nirwana Beach Club tidak begitu ramai seperti Pantai Nusa Dua di Bali.
Oleh karena itu, kesempatan untuk mengendarai Jet Skinya pun bisa lebih
lama. Waw, saya benar-benar sangat senang ketika itu, menerjang ombak
dengan menggunakan Jet Ski, sudah obsesi saya sejak lama. Selain itu
kami juga menyempatkan diri untuk bermain Banan Boat dan Canoeing.
Setelah dari Nirwana Beach Club kami
menuju Tanjung Uban untuk menyebrang menggunakan feri menuju Telaga
Pungkur, Batam. Di Batam kami melakukan kegiatan nostalgia. Kami dahulu
pernah tinggal di Batam pada tahun 1993 – 1994. Saya dan Abang saya
sempat bersekolah SD disana, sementara Affan sempat TK. Waktu itu kami
menuju daerah Sekupang dimana kami tinggal. Kami melihat rumah kantor
ayah saya yang dulu kami tempat. Setelah itu kami sempat berkunjung ke
TK Affan dan SD Kartini I yang merupakan tempat saya dan Abang saya
bersekolah. terakhir kami mengunjungi kantor Dinas PU tempat ayah saya
berkerja dulu.
Selain itu kami juga menyempatkan diri
untuk berputar-putar di Nagoya. Kawasan yang dulu terkenal sebagai
tempat membeli barang-barang elektronik ini tampaknya saat ini tidak
lagi begitu ramai. Barang-barang elektroniknyapun tidak begitu variatif.
Harganyapun tidak begitu bersaing dengan Glodok ataupun Roxy. Batam
memang sudah tidak seramai dulu lagi. Kami di Batam hanya satu malam.
Pada keesokan harinya kami pun menuju Bandar Udara Hang Nadim untuk
kembali pulang. Ayah, Mama, dan Dinda kembali menuju Pekanbaru,
sementara Saya, Bang Ashri dan Affan langsung menuju Jakarta untuk
kembali ke Bandung dan berkuliah seperti Biasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar